Etika (Yunani Kuno: "ethikos",
berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu di mana dan
bagaimana cabang utama filsafat yang
mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi
mengenai standar dan penilaian moral.
Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk,
dan tanggung
jawab. St. John of Damascus (abad
ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis (practical
philosophy).
Etika dimulai bila manusia merefleksikan
unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan
refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak
jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu
untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai
perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis,
metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena
itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah
tingkah laku manusia. Akan
tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia,
etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik
dan buruk terhadap perbuatan manusia.
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika
normatif (studi
penentuan nilai etika), dan etika
terapan (studi
penggunaan nilai-nilai etika).
Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan
dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu
perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan
dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja,
pemegang saham, masyarakat.
Perusahaan
meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis
dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati
kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Etika Bisnis
dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk manajemen dan
menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan
dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan dan sikap yang profesional.
Pengejaran
kepentingan diri sendiri yang tampa kendali ditolak oleh moralitas konvensional
dan oleh etika. Walaupun demikian ada sebuah teori implisit tentang moral
bisnis yang menolak menrerapkan kriteria moral dalam bisnis. Para amoralis
bisnis dengan enaknya menyampaikan bahwa bisnis tidak mempunyai hubungan
apa-pun dengan semua pertimbangan moral. Mitos
bisnis amoral (De George,1990) menyatakan bahwa pengajaran
keuntungan dala suatu lingkungan bisnis adalah suatu sasaran yang berada diluar
pertimbangan moral apa-pun (amoral berarti tak bermoral). Ungkapan lain dari etika bisnis menurut De George disebut
sebagai Mitos Bisnis Amoral. Ungkapan atau
mitos ini menggambarkan dengan jelas anggapan atau keyakinan orang bisnis,
sejauh mereka menerima mitos seperti itu, tentang dirinya, kegiatannya, dan
lingkungan kerjanya.
Bagi orang bisnis yang menginginkan agar bisnisnya bertahan lama dan sukses tidak hanya dari segi material tapi dalam arti seluas-luasnya, mitos tersebut sulit dipertahankan.
Bagi orang bisnis yang menginginkan agar bisnisnya bertahan lama dan sukses tidak hanya dari segi material tapi dalam arti seluas-luasnya, mitos tersebut sulit dipertahankan.
Mitos ini bergantung pada dua
gagasan fundamental:
1. Menjaga kepentingan diri sendiri dalam bisnis tidak perlu
didiskualifikasi jika ia berbenturan dengan moralitas konvensional (pernyataan
mengisolasi)
2. Dalam bisnis, pengejaran kepentingan pribadi yang tampa
kendali harus merupakan sasaran terakhir (tuntutan normatif)
Gagasan dibalik mitos ini berkaitan
erat dengan pujian para egois yang mencolok tentang pengejaran kepentingan diri
sendiri yag tampa kendali.
beberapa keberatan lain mengenai
bisnis amoral.
1. Egoisme bisnis amoral adalah posisi yang bersifat
bertentangan
2. Egoisme ini menunjukkan pada konsep kepentingan diri sendiri
yang tak konsisten.
3. Tuntutan normatif dalam amoralisme mengagungkan penyiksaan
kapitalis.
4. Amoralitas dalam perusahaan bisnis menyalahgunakan gagasan
maksimalisasi keuntungan.
Sumber
: